Secara sebenarnya historis Desa Coper memang tidak dapat diungkap secara mantap dan memuaskan, sebab nara sumber yang memahami dan mengalami proses tersusunnya Desa Coper saat ini telah tiada. Sekalipun demikian bisa diungkapkan persoalan sejarah Desa Coper melalui berbagai informasi yang dihimpun dari cerita-cerita sesepuh atau orang yang dianggap ada sangkut pautnya dengan desa sesuai dengan pemahaman dan pengertian masing-masing.
Sekitar tahun 1300 M Maulana Malik Ibrahim sedang menyiarkan Agama Islam di Cempa. Dengan istri Dewi Condro Wulan beliau dianugerahi putra bernama R. Rachmad atau Sunan Ampel. Selanjutnya secara berurutan Sunan Ampel mempunyai keturunan bernama R. Satmoto atau Kyai Ngarobi dan Kyai Ngarobi ini mempunyai putri Ny. Anom Besari. Adapun Kyai Anom Besari adalah putra dari Ki Ageng Mursad Tukum yang selanjutnya Kyai Anom Besari punya anak bernama Muhammad Besari.
Sekitar tahun 1600 M Muhammad Besari mencari ilmu agama di Pondok Kyai Donopuro di Dukuh Setono. Setelah beliau menikah dengan putri Kyai Nur Salim beliau mempunyai keturunan 9 putra, dan putra yang ke 5 bernama Kyai Ishaq.
Konon ceritanya Kyai Ishaq mempunyai 2 orang istri, salah satu diantaranya adalah putri dari Kanjeng Gading. Sewaktu pengantin baru dengan putri Kanjeng Gading, Kyai Ishaq dan istrinya selalu dikirim makanan dari Kanjeng Gading melalui abdi kinasihnya Kanjeng Gading. Makanan tersebut sambalnya selalu ditempatkan di lepek/lemper. Pada suatu hari tempat sambal tersebut diganti, lalu Kyai Ishaq berkata “sambal itu sebenarnya lebih enak tetap ditempatkan dilemper” lalu abdi menjawab “econipun wonten lemper Kyai” Kyai menjawab “Iya”. Setelah berpikir sejenak atas jawaban abdi kinasih tersebut diatas, maka Kyai Ishaq lalu berkata : Kalau begitu melihat kata “eco ing lemper” apabila besuk tempat ini sudah ramai maka kami namakan “DESA COPER”.
Sekalipun saat itu Kyai Ishaq dengan semangat selalu menyiarkan Agama Islam, namun budaya tradisional yang dipenuhi mitos, tanda tandanya masih cukup tampak atau paling tidak masih bisa dilacak akar-akar sejarahnya. Menurut cerita para sesepuh ditempat ini masih terdapat “danyang” yang dikeramatkan antara lain : Danyang Umyang, yang ceritanya dulu sebagai tempat tinggal Empu Supo sekarang di Dukuh Coper Kidul, Danyang Suwondo Geni sekarang di Dukuh Coper Kulon, Danyang Gusnen, yang ceritanya dulu adalah Punggawa dari Mataram yang bertugas untuk menunggu Raja Keputren/Perhiasan yang sekarang di Dukuh Ngrayut, Danyang Grumbul katanya yang tinggal disitu Mbah Supadi dan Mbah Sukimin yang keduanya senang terhadap ternak, makanya sering dimitoskan ada masyarakat yang pernah menjumpai Gemak Walik, Katak dan Ular yang kesemuanya serba besar ini di Dukuh Ngrayut, Danyang Kumbang Angkling katanya disitu ada Pusaka Naga Kikik dimitoskan mempunyai kelebihan apabila membawa Pusaka tersebut bisa menghilang, dan yang terakhir Danyang Dung Bunder katanya dulu ada Baung (makhluk yang berbadan manusia dan mempunyai kepala anjing) dan ini punya abdi kinasih yang bernama Joko Klanthung.
Kepercayaan dan budaya seperti itu lambat laun berkurang dan mencapai klimaknya sekitar pada tahun 1965 para pemuda melakukan gerakan penhancuran terhadap berbagai bentuk khurafat dan kemusyrikan. Lebih-lebih saat ini di Desa Coper telah berdiri 2 (dua) buah Pondok Besar yaitu Pondok Pesantren Dipokerti dan Pesantren Putri Al-Mawaddah.